Photobucket

Jumat, 23 Oktober 2009

Yang kaya Makin Taqwa



Magrib telah lewat. Isya belum tiba. Kami – aku dan istriku – berencana berangkat menjenguk salah seorang sahabat yang sakit. Kami pun memperhitungkan akan sholat Isya di perjalanan, di salah satu Masjid atau Musholla yang kami temukan di jalan. Walaupun waktu Isya sebenarnya panjang, tapi kami sedang melatih diri untuk biasa sholat di awal waktu. Benar saja, separuh perjalanan, adzan berkumandang. Perlahan kami telusuri jalan-jalan kecil di perkampungan. Adzan memang terdengar dari mana-mana, menandai bahwa banyak Masjid atau Musholla di sekitar kami. Musholla pertama yang kami temui hingar bingar. Anak-anak berlari kesana kemari. Rupanya Musholla ini menyelenggarakan TPA. Suara adzan tak mampu membendung antusiasme anak-anak ini untuk bermain. Kami tak jadi mampir. Hanya berjarak beberapa ratus meter, kami temui Musholla kedua. Musholla kedua ini tertutup rapat. Tak ada aktifitas apapun. Aneh juga, pikir kami. Kami juga tak jadi mampir. Akhirnya kami temukan musholla ketiga. Juga dengan jarak hanya beberapa ratus meter saja. Masih di jalur jalan yang sama. Alhamdulillah, ada seseorang yang sedang sholat di sana. Kami pun memarkirkan kendaraan roda dua di dekat teras Musholla. Hanya seorang yang sedang sholat, dan sedang tahiyat awal. Aku pun bermasbuk, menjadi satu-satunya makmum di Musholla itu. Usai sholat, kami – aku dan sang imam – berbincang-bincang singkat. “Sepi ya Musholla-nya?” tanyaku. Pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban sebenarnya. Pak Imam membenarkan, dan meneruskan dengan penuh prihatin terhadap kondisi masyarakat di sekitarnya. Orang-orang malas ke Masjid. Padahal sebagian besar penduduk bukanlah orang kantoran, alias jam sekian sudah seharusnya sudah berada di rumah. Profesi mereka rata-rata tukang ojeg, jualan kecil-kecilan, dan sektor informal lainnya. Mereka lebih tersihir oleh tontonan televisi ketimbang panggilan untuk menghadap Rabb-nya. Aku membenarkan juga kata-katanya. Sepanjang jalan yang aku lalui, banyak anak remaja yang duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka ’sibuk’ membicarakan entah apa. Suara adzan tak berarti apa-apa buat mereka. Selanjutnya pak Imam menanyakan dari mana kedatanganku, dan tak lupa menanyakan pula bagaimana semangat sholat berjamaah di lingkunganku. Sejujurnya kusampaikan bahwa tempat tinggalku sebenarnya tak terlalu jauh. Aku tinggal di perkampungan, dekat pinggiran kompleks. Jadi aku lebih sering sholat di Musholla atau Masjid kompleks, yang asri dan terawat. Jamaah sholatnya cukup banyak. Bahkan saat Maghrib bisa hampir memenuhi Masjid. Sedangkan sholat shubuh pun cukup ramai, menandai warga sekitar Masjid cukup semangat memakmurkan Masjid mereka. Warga kompleks dan sekitarnya umumnya dari kalangan berpunya. Rata-rata mereka punya kendaraan roda empat. Aku pun tergoda untuk menyimpulkan, pada kasus ini, yang kaya justru semakin menunjukkan peningkatan ketaatan. Mereka lebih peduli terhadap ibadah, dan lebih rajin mengikuti kajian-kajian keislaman. Dari arus kas masjid pun dapat disimpulkan bahwa warga sekitar masjid ini gemar berinfaq. Sebaliknya, setiap kali adzan berkumandang, cukup banyak tukang becak yang sesungguhnya tidak melakukan apa-apa selain hanya duduk-duduk. Mereka tidak bergerak meninggalkan becak mereka. Aku pun kembali miris, seolah kemiskinan berbanding lurus dengan kemalasan beribadah. * * * * * Tapi benarkah kekayaanlah yang mendorong seseorang menjadi lebih bertaqwa? Tentu kesimpulan ini terlalu tergesa-gesa. Sebagaimana tak perlu pula kita menyimpulkan bahwa kemiskinanlah yang menyebabkan seseorang malas beribadah. Ada pengalaman-pengalaman lain yang setidaknya memberikan perspektif lain kepadaku. Tengoklah itu, Mas Yono, tetanggaku yang mengontrak rumah petak bersama istri dan lima orang anaknya. Seolah hampir tak peduli dengan pembeli, setiap adzan Magrib ia langsung meninggalkan gerobak baksonya, bergegas memenuhi panggilan Allah. Lihat pula abang-abang tukang roti, tukang es dan tukang entah apa lagi, yang ramai memarkirkan gerobaknya di pelataran masjid. Mereka bergegas memenuhi panggil Rabb-nya di tengah-tengah usaha mereka mencari nafkah. Mereka, kaum mustadhafin itu, berdiri dan duduk berdampingan dengan orang-orang yang memiliki rumah gedongan dan kendaran mewah. Semua sama di mata Allah. Allah hanya melihat bagaimana mereka menyikapi kemiskinan sebagaimana Allah menilai bagaimana saudara-saudara mereka menyikapi kekayaan. Sementara itu, boleh jadi di saat yang lain, saudara-saudara mereka yang bekerja di ruang-ruang AC yang sejuk, masih asyik chatting atau melihat-lihat berita gosip di internet, meski waktu sholat telah masuk. Atau boleh jadi dengan alasan pekerjaan belum selesai, mengejar deadline, dan alasan-alasan ‘logis’ lainnya, mereka jadi merasa menemukan pembenaran untuk menunda-nunda sholatnya. Apalagi jika diimbuhi dengan argumentasi “toh masih sholat, dari pada enggak?” Alasan seperti ini sesungguhnya hanya mencerminkan betapa rapuhnya hubungan seseorang dengan Rabb-nya, yang telah memberinya aneka kemudahan, kelapangan, dan kenikmatan. Betapa kenyamanan tak selamanya berujung ketaatan. Akhirnya memang kita bisa menyimpulkan bahwa kaya atau miskin sama-sama bisa menghantar seseorang untuk menjadi dekat dengan Rabb-nya. Bahwa beberapa masjid kompleks yang aku temui terlihat lebih makmur aktifitasnya dibandingkan beberapa masjid/musholla perkampungan, mungkin ini sangatlah subyektif, karena hanya berdasarkan pengalaman pribadiku saja. Sesungguhnya Islam hadir untuk mencegah adanya kesenjangan kelas dalam masyarakat, bahkan membangun persaudaraan antara si kaya dan si miskin dan menciptakan kesatuan untuk menghadapi berbagai macam kebutuhan. Allahberfirman, “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu mengenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan, apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (al-Baqarah:273) Wallahu a’lam
read more “Yang kaya Makin Taqwa”

Titip Ibuku Ya Allah


” Nak, bangun… udah adzan subuh. Sarapanmu udah ibu siapin di meja… “


Tradisi ini sudah berlangsung 20 tahun, sejak pertama kali aku bisa
mengingat.

Kini usiaku sudah kepala 3 dan aku jadi seorang karyawan disebuah
Perusahaan Tambang, tapi kebiasaan Ibu tak pernah berubah.

” Ibu sayang… ga usah repot-repot Bu, aku dan adik-adikku udah dewasa “
pintaku pada Ibu pada suatu pagi. Wajah tua itu langsung berubah.
Pun ketika Ibu mengajakku makan siang di sebuah restoran.

Buru-buru kukeluarkan uang dan kubayar semuanya. Ingin kubalas jasa Ibu
selama ini dengan hasil keringatku. Raut sedih itu tak bisa disembunyikan.

Kenapa Ibu mudah sekali sedih ?
Aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya aku mengalami
kesulitan memahami Ibu karena dari sebuah artikel yang kubaca …
orang yang lanjut usia bisa sangat sensitive dan cenderung untuk bersikap
kanak-kanak …..

tapi entahlah…. Niatku ingin membahagiakan malah membuat Ibu sedih.

Seperti biasa, Ibu tidak akan pernah mengatakan apa-apa

Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya,

” Bu, maafin aku kalau telah menyakiti perasaan Ibu. Apa yang bikin Ibu
sedih ? “

Kutatap sudut-sudut mata Ibu, ada genangan air mata di sana . Terbata-bata
Ibu berkata,

” Tiba-tiba Ibu merasa kalian tidak lagi membutuhkan Ibu.
Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri.
Ibu tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, Ibu tidak bisa lagi
jajanin kalian. Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri “

Ah, Ya Allah, ternyata buat seorang Ibu .. bersusah payah melayani
putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan.
Satu hal yang tak pernah kusadari sebelumnya. Niat membahagiakan bisa jadi
malah membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk
saling membuka diri melihat arti kebahagiaan dari sudut pandang
masing-masing.

Diam-diam aku bermuhasabah… Apa yang telah kupersembahkan untuk Ibu
dalam usiaku sekarang ? Adakah Ibu bahagia dan bangga pada putera putrinya?

Ketika itu kutanya pada Ibu, Ibu menjawab,

” Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kalian berikan pada Ibu.

Kalian tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan .

Kalian berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat Ibu.

Kalian berprestasi di pekerjaan adalah kebanggaan buat Ibu .

Setelah dewasa, kalian berprilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba,
itu kebahagiaan buat Ibu. Setiap kali binar mata kalian mengisyaratkan
kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua.”
Lagi-lagi aku hanya bisa berucap,

” Ampunkan aku ya Allah kalau selama ini sedikit sekali ketulusan yang
kuberikan kepada Ibu. Masih banyak alasan ketika Ibu menginginkan sesuatu.“

Betapa sabarnya Ibuku melalui liku-liku kehidupan. Sebagai seorang wanita
karier seharusnya banyak alasan yang bisa dilontarkan Ibuku untuk “cuti”
dari pekerjaan rumah atau menyerahkan tugas itu kepada pembantu. Tapi
tidak!

Ibuku seorang yang idealis. Menata keluarga, merawat dan mendidik
anak-anak adalah hak prerogatif seorang ibu yang takkan bisa dilimpahkan
kepada siapapun.

Pukul 3 dinihari Ibu bangun dan membangunkan kami untuk tahajud.

Menunggu subuh Ibu ke dapur menyiapkn sarapan sementara aku dan adik-adik
sering tertidur lagi…

Ah, maafin kami Ibu … 18 jam sehari sebagai “pekerja” seakan tak pernah
membuat Ibu lelah..

Sanggupkah aku ya Allah ?

” Nak… bangun nak, udah azan subuh .. sarapannya udah Ibu siapin dimeja..

” Kali ini aku lompat segera.. kubuka pintu kamar dan kurangkul Ibu
sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang mulai keriput, kutatap matanya
lekat-lekat dan kuucapkan, ” Terimakasih Ibu, aku beruntung sekali
memiliki Ibu yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan Ibu…”.

Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan. .. Cintaku ini milikmu, Ibu…

Aku masih sangat membutuhkanmu. .. Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan
arti kebahagiaan buat dirimu..

Sahabat.. tidak selamanya kata sayang harus diungkapkan dengan kalimat
“aku sayang padamu… “, namun begitu, Rasulullah menyuruh kita untuk
menyampaikan rasa cinta yang kita punya kepada orang yang kita cintai
karena Allah.

Ayo kita mulai dari orang terdekat yang sangat mencintai kita …

Ibu dan ayah walau mereka tak pernah meminta dan mungkin telah tiada.

Percayalah.. . kata-kata itu akan membuat mereka sangat berarti dan bahagia.

Wallaahua’lam

“Ya Allah, cintai Ibuku, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan
Ibu…, dan jika saatnya nanti Ibu Kau panggil, panggillah dalam keadaan
khusnul khatimah.

Ampunilah segala dosa-dosanya dan sayangilah ia sebagaimana ia menyayangi
aku selagi aku kecil “
read more “Titip Ibuku Ya Allah”

Berapa lama kita dikubur...?

Awan sedikit mendung, ketika kaki kaki kecil Yani berlari-lari gembira di



atas jalanan menyeberangi kawasan lampu merah Karet.

Baju merahnya yg Kebesaran melambai Lambai di tiup angin. Tangan kanannya
memegang Es krim sambil sesekali mengangkatnya ke mulutnya untuk dicicipi,
sementara tangan kirinya mencengkram Ikatan sabuk celana ayahnya.
Yani dan Ayahnya memasuki wilayah pemakaman umum Karet, berputar sejenak
ke kanan & kemudian duduk Di atas seonggok nisan “Hj Rajawali binti
Muhammad 19-10-1915:20- 01-1965″

“Nak, ini kubur nenekmu mari Kita berdo’a untuk nenekmu” Yani melihat
wajah ayahnya, lalu menirukan tangan ayahnya yg mengangkat ke atas dan
ikut memejamkan mata seperti ayahnya. Ia mendengarkan ayahnya berdo’a
untuk Neneknya…

“Ayah, nenek waktu meninggal umur 50 tahun ya Yah.” Ayahnya mengangguk
sembari tersenyum, sembari memandang pusara Ibu-nya.

“Hmm, berarti nenek sudah meninggal 42 tahun ya Yah…” Kata Yani berlagak
sambil matanya menerawang dan jarinya berhitung. “Ya, nenekmu sudah di
dalam kubur 42 tahun … “

Yani memutar kepalanya, memandang sekeliling, banyak kuburan di sana . Di
samping kuburan neneknya ada kuburan tua berlumut “Muhammad Zaini:
19-02-1882 : 30-01-1910″

“Hmm.. Kalau yang itu sudah meninggal 106 tahun yang lalu ya Yah”, jarinya
menunjuk nisan disamping kubur neneknya. Sekali lagi ayahnya mengangguk.
Tangannya terangkat mengelus kepala anak satu-satunya. “Memangnya kenapa
ndhuk ?” kata sang ayah menatap teduh mata anaknya. “Hmmm, ayah khan
semalam bilang, bahwa kalau kita mati, lalu di kubur dan kita banyak
dosanya, kita akan disiksa dineraka” kata Yani sambil meminta persetujuan
ayahnya. “Iya kan yah?”

Ayahnya tersenyum, “Lalu?”
“Iya .. Kalau nenek banyak dosanya, berarti nenek sudah disiksa 42 tahun
dong yah di kubur? Kalau nenek banyak pahalanya, berarti sudah 42 tahun
nenek senang dikubur …. Ya nggak yah?” mata Yani berbinar karena bisa
menjelaskan kepada Ayahnya pendapatnya.

Ayahnya tersenyum, namun sekilas tampak keningnya berkerut, tampaknya
cemas ….. “Iya nak, kamu pintar,” kata ayahnya pendek.

Pulang dari pemakaman, ayah Yani tampak gelisah Di atas sajadahnya,
memikirkan apa yang dikatakan anaknya… 42 tahun hingga sekarang… kalau
kiamat datang 100 tahun lagi…142 tahun disiksa .. atau bahagia dikubur
…. Lalu Ia menunduk … Meneteskan air mata…


Kalau Ia meninggal .. Lalu banyak dosanya …lalu kiamat masih 1000 tahun
lagi berarti Ia akan disiksa 1000 tahun?
Innalillaahi WA inna ilaihi rooji’un …. Air matanya semakin banyak
menetes, sanggupkah ia selama itu disiksa? Iya kalau kiamat 1000 tahun ke
depan, kalau 2000 tahun lagi? Kalau 3000 tahun lagi? Selama itu ia akan
disiksa di kubur. Lalu setelah dikubur? Bukankah Akan lebih parah lagi?
Tahankah? padahal melihat adegan preman dipukuli massa ditelevisi kemarin
ia sudah tak tahan?

Ya Allah… Ia semakin menunduk, tangannya terangkat, keatas bahunya naik
turun tak teratur…. air matanya semakin membanjiri jenggotnya

Allahumma as aluka khusnul khootimah.. berulang Kali di bacanya DOA itu
hingga suaranya serak … Dan ia berhenti sejenak ketika terdengar batuk
Yani.

Dihampirinya Yani yang tertidur di atas dipan Bambu. Di betulkannya
selimutnya. Yani terus tertidur…. tanpa tahu, betapa sang bapak sangat
berterima kasih padanya karena telah menyadarkannya arti sebuah
kehidupan… Dan apa yang akan datang di depannya…

“Yaa Allah, letakkanlah dunia ditanganku, jangan Kau letakkan dihatiku…”
read more “Berapa lama kita dikubur...?”