Photobucket

Senin, 24 Januari 2011

Carut-marutnya BUMN

Kemerdekaan Indonesia rupanya tidak membawa serta kesejahteraan, kekayaan, dan kemakmuran rakyatnya. Bangsa Indonesia kaget saat harus menjadi tuan di negerinya sendiri. Perekonomian Indonesia mungkin sudah melebihi kejayaan Cina, Singapura dan Malaysia andai saja para petinggi bangsa ini bisa mengelola dengan baik kekayaan yang ada. Sejak masa awal kemerdekaan, pertumbuhan ekonomi Indonesia berjalan lamban dan berbiaya tinggi, bukan karena kekuarangan sumber daya alam atau keterbatasan aset negera, dari sejak era Bung Karno problemnya selalu sama yaitu faktor buruknya managerial dan faktor kepentingan politik yang selalu merong-rong upaya pembenahan pengelolaan aset negara.
Fenomena ini sebagaimana tergambar dalam pengelolaan BUMN sepanjang sejarah yang tidak profesional dan selalu terjadi politisasi. Kepentingan politik dan perilaku oknum dalam institusi negara, pemerintah, parlemen, dan birokrat menghambat upaya pembenahan dan perbaikan managemen pengelolaan BUMN.
Carut marut dan salah urus pengelolaan BUMN ini sebagaimana dikupas habis oleh Ishak Rafick dan Baso Amir dalam karyanya yang berjudul BUMN Expose; Menguak Pengelolaan Aset Negara Senilau 2000 triliun. Dengan menggunakan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti tanpa dimensi emosional, penulis menyajikan dengan rigit tentang gambaran menyeluruh perjalanan BUMN sepanjang sejarah.
Pembahasan tentang buruknya pengelolaan BUMN disajikan dalam tiga pembahasan, diawal bab disajikan pada penelusuran zaman kegelapan BUMN yaitu pengelolaan perusahaan ber-plat merah pada masa awal kemerdekaan hingga masa akhir Orde Baru, dimana BUMN hanya menjadi sapi perah dan menyedot uang negara tanpa melahirkan keuntungan karena keterlibatan para politisi dan penguasa. Pada masa ini BUMN berada antara bisnis dan politik. Bagian dua menyajikan tentang upaya perbaikan di BUMN dengan misi profesionalisme, restrukturisasi, profitisasi, dan privatisasi, dibawah kendali Tanri Abeng, hingga melahirkan era pencerahan di masa Kabinet Reformasi Pembangunan Habibie. Sebelum kemudian macet di era kepemimpinan Gus Dur-Megawati karena BUMN kembali dirong-rong oleh kepentingan politik. Juga pembahasan kritis pengelolaan BUMN masa SBY dan rekomendasi pengelolaan BUMN mendatang.
Secara historis, Indonesia mewarisi sekitar 600 perusahaan asing hasil dari sitaan atau nasionalisasi kepemilikan dari penjajah (belanda) mencakup perusahaan di bidang pertambangan, bisnis perdagangan, perbankan, asuransi, komunikasi dan konstruksi, belum termasuk BUMN milik negeri sendiri seperti Bank BRI, PT Krakatau Steel. Bung Karno kemudian mengambil kebijakan dengan melibatkan para militer demi kepentingan loyalitas militer pada pemerintah Orla dalam mengelola BUMN, sehingga restrukturisasi pertama pada BUMN dilakukan dan menghasilkan 233 perusahaan BUMN dari sejumlah 600 perusahaan. Sayangnya kebijakan restrukturisasi bukan karena alasan ekonomi melainkan alasan politik, agar para pperwira tetap loyal dengan pemerintah.
Akibat pengelolaan yang tidak profesional pemerintah Orla terbebani biaya tinggi untuk membiayai 233 BUMN, dan berdampak pada krisis ekonomi pada tahun 1961. Orde Baru di bawah kendali Soeharto mengusung anti tesis Orla, dengan meletakkan kebijakan ekonomi sebagai sentra bukan kebijakan politik. Ekonomi bernuansa Neo Liberal kemudian menjadi corak kebijakan Orde Baru dengan membuka peluang sebesar-besarnya masuk modal asing, Pragmatism ekonomi merupakan gambaran yang tepat. Namun, BUMN tidak mengalami perkembangan dan berjalan di tempat, kalah dengan perusahaan swasta dan asing di negeri sendiri karena menegerial yang tidak professional, bahkan BUMN hanya menjadi lahan perampokan dan sumber dana non-budgeter karena tidak ada transparansi.
Kebangkrutan pada perusahaan PDAM, PLN, Dirgantara, Perbankan, percetakan, pabrik kertas, sempat menjadi ancaman serius di masa Orba, sebelum kemudian diselamatkan oleh Tanri Abeng di masa akhir Orde Baru dan diteruskan pada masa Kabinet Reformasi Pembangunan Habibie.
Di masa Tanri Abeng dari ratusan jumlah BUMN ada sedikit BUMN yang profitable karena adanya reformasi internal managerial dan pengeloalaan yang profesional dan modern, sebut saja PT Telkom, Bank Mandiri, BNI, BRI yang mampu memberi pemasukan besar pada Negara. Tanri Abeng pun sempat disidang oleh IMF dan Bank dunia karena kebijaknnya menolak privatisasi, bahkan Malaysia, Singapura dan Cina belajar pada Tanri untuk mengelola BUMN mereka sebelum sukses seperti saat sekarang.
Namun, politisasi BUMN kembali bergulir di bawah kepemimpinan Gus Dur-Megawati, di bawah kendali Laksamana Sukardi agenda profitisasi tidak berjalan restrukturisasi dan privatisasi juga hanya mimpi belaka. Pun di tangan Rozy munir, BUMN macet tanpa ada perkembangan. dan berlanjut hingga era Medco Sugiharta, dan Sofyan Djalil di era SBY yang mencoba menghidupkan kembali reformasi yang dicanangkan Tanri Abeng, meski hasilnya masih nihil.
Untuk menyelematkan ekonomi bangsa, buku ini mengusulkan agar BUMN bebas dari politisasi dan dijalankan dengan profesionalisme, profitisasi, dan privatisasi. Didukung dengan penerapan sistem profesionalisme, depolitisasi dan debirokratisasi, sehingga ketidakefisenan di BUMN bisa berubah menjadi mesin lokomotif pembangunan nasional.

Resensi Buku Dimuat Di Majalah Gatra 12 Mei 2010
Oleh: Moh Yasin*)
Judul Buku : BUMN Expose
Penulis : Ishak Rafick dan Baso Amir
Penerbit : Ufuk Press, Jakarta
Cetakan : Pertama, Maret, 2010
Tebal : xxviii + 306 halaman

read more “Carut-marutnya BUMN”