Photobucket

Kamis, 22 Oktober 2009

Khisnul Khatimah

*"Khusnul Khatimah adalah hujung perjuangan manusia. Manakala perjuangan

terakhirnya berlansung dengan baik, insya Allah ia akan menikmati sisi
terakhir dari kehidupannya di syurga."*

Hidup terasa begitu cepat. Dan waktu secara perlahan-lahan, senantiasa
mengarahkan kita menuju kematian. Satu tahun berlalu berganti dengan dua
tahun dan kian hari usia kita semakin bertambah. Semakin lama kematian itu
semakin mendekat dan manusia tak mungkin lagi dapat menghindarinya. Ibarat
sebuah medan ujian, dunia adalah babak prakualifikasi untuk menentukan siapa
yang layak untuk mendiami istana syurga yang abadi, dan siapa yang pantas
untuk dimasukkan ke dalam bara api neraka.

Detik-detik kematian tak perlu dirisaukan. Orang-orang yang beriman akan
menyambutnya dengan perasaan yang tulus, dari Allah SWT kita berasal dan
kepada-Nya pula kelak kita kembali. Dalam kepastian menjemput kematian
inilah husnul khaatimah menjadi idaman setiap orang mukmin. Karena pada
detik akhir ini semua ditentukan, apakah kita akan menjadi orang yang
bahagia, atau sebaliknya, semua tergantung pada detik-detik akhir ini.
Husnul Khaatimah, merasa enjoy dan happy, bahagia di saat –saat terakhir
kehidupan.

Setiap akhir pastilah ada awalnya. Begitu juga kalau ada husnul khaatimah
itu sesungguhnya tidak hanya pada akhir kematian. Paling tidak ada empat
kali period yang kita jalani.

Pertama, saat keluar dari alam ruh ('*alamul arwaah).* Dari alam ruh, kita
keluar dan masuk ke alam kedua, yang disebut dengan *'alamul arham* (alam
kandungan atau rahim ibu). Ketika dalam kandungan, ada satu masa di mana
Tuhan *"meniupkan"* ruh-Nya kepada Adam yang sebelumnya hanya selonggok
fisik saja.

Tatkala Nabi Adam diciptakan dari tanah liat itu, dia tidak ada apa-apanya.
Nabi Adam tak ubahnya selonggok tanah biasa. Nabi Adam mulai berharga dan
bernilai, setelah Allah SWT meniupkan ruh-Nya itu dan menjadikannya sebagai
*khalifah* (mandataris Tuhan) di bumi. Pada saat itulah kedudukannya
melampaui makhluk spiritual yang ada sebelumnya, termasuk malaikat dan jin.

Di dalam alam rahim, terjadi peristiwa spiritual yang disebut dengan
"perjanjian primordial", yang universal bagi seluruh manusia. Manusia dengan
Tuhannya melakukan kontrak.

*"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS. Al-A'raaf :172).*

Apa pun agamanya dan betapa pun kafirnya orang itu kemudian, sesungguhnya ia
mengingkari perjanjian primordial itu dengan Tuhan. Seorang manusia tidak
mungkin keluar ke alam fana (dunia) ini tanpa melalui perjanjian itu.

Terminal yang ketiga adalah *alam fana* (alam sementara). Di sinilah puncak
prestasi manusia harus diperoleh. Dunia ini tempat beramal dan berprestasi
yang menentukan masa depan kita di alam berikutnya. Kalau prestasi amal
ibadah kita baik, maka mulai terminal keempat yaitu alam *barzakh* sampai
terakhir, alam *akhirat* nanti, kita kita akan merasakan efek dan pengaruh
positifnya. Maka di sinilah perlunya kita mengkaji *husnul khaatimah.*

*Husnul Khaatimah* adalah ujung perjuangan manusia. Kalau perjuangan
terakhirnya itu baik, *insyaa Allah* ia akan menikmati sisa terakhir dari
kehidupannya. Menurut Nabi, *"Barang siapa yang mengucapkan
laailaahaillallah di akhir hayatnya (di penghujung pembicaraannya), ia
dijamin masuk surga."*

Apakah hadis ini mengisyaratkan tidak pentingnya shalat, puasa, zakat, atau
haji bagi kita? Bukankah dengan hanya mengafal kalimat
*laailaahaillallah*yang nantinya kita ucapkan menjelang kematian,
sudah cukupkah membuat kita
masuk surga? Tentu saja jawabannya tidak. Persoalannya tidak sederhana
menghafal. Kalimat ini kalimat sakral. Bisa jadi saat ini kita merasa mudah
dan lancar melafadzkannya. Akan tetapi orang yang selalu dilumuri dengan
dosa sepanjang hidupnya, lidahnya takkan sanggup mengucapkan *
laailaahaillallah*. Atau dia punya dosa-dosa tertentu, sehingga lidahnya
kelu untuk mengucapkan kalimat tauhid ini.

Diceritakan, suatu hari Rasulullah mendengar bahwa Al-Qama, salah satu
sahabat dekatnya, mengalami *sakaratul maut,* Rasulullah kemudian mengutus
sahabat-sahabat terbaiknya yang lain untuk membantu *ta'ziyyah* mayitnya.
Alangkah kagetnya para sahabat yang datang pada saat itu. Al-Qama yang
dikenal rajin ikut berjihad bersama Rasulullah, tidak sanggup mengucapkan *
laailaahaillallah,* tetapi kata-katanya lancar, ia memanggil siapa saja.

Bersamaan dengan itu, sahabat segera menghubungi Rasulullah. "Ya Rasul. Ada
sesuatu yang aneh terjadi pada sahabat kita Al-Qama," lapor sahabat. "Apa
yang terjadi padanya?" Tanya Rasulullah. "Sahabat kita, Al-Qama, tidak
sanggup mengucapkan *laailaahaillallaah."* Rasul pun datang menemui Al-Qama,
seraya bertanya, "Apakah kamu mengenalku?" "Saya sungguh mengenalmu ya
Rasulullah!" jawab Al-Qama. "Bacalah *laailaahaillallaah*," kata Nabi.
Berkali-kali Rasulullah menuntunnya, Al-Qama tetap tidak bisa. Mulutnya
terasa terkunci, dan kalimat tauhid ini seakan berat untuk diucapkan.
Anehnya, Al-Qama bisa berkata selain kalimat tauhid itu.

"Tolong panggilkan ibunya," Rasulullah menyuruh sahabatnya. "Ibunya tidak
ada ya, Rasulullah." "Tapi masih hidupkah dia?" Tanya Rasulullah. "Masih
hidup," jawab para sahabat. Diutuslah seorang sahabat untuk memanggil ibu
Al-Qama atas nama Rasulullah. Setelah ibunya datang, Nabi bertanya, "Mengapa
ibu tidak datang, saat anak ibu sakit seperti ini?" "Saya memang belum
sanggup datang ke sini. Sekiranya bukan Rasul yang memanggilku untuk datang,
saya takkan datang," tutur ibu itu lirih. "Kenapa?" Tanya Rasul. "Saya
tersinggung oleh perlakuan anak ini. Semenjak ia kawin, ia tak ingat lagi
untuk mengurusiku. Padahal ia anak satu-satunya." Jawab ibu itu. "kalau
demikian sanggupkah Ibu memaafkan anak Ibu?" pinta Rasul. "Hati saya belum
rela memaafkannya, hatiku terlalu sakit," jawab Ibu itu kemudian. Lalu
Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk mengumpulkan kayu bakar. Tak
lama kemudian, kayu bakar itu bertumpuk di depan Al-Qama. "Untuk apa kayu
bakar itu ya Rasulullah?" Tanya ibu tadi hairan. Nabi menjawab, "lebih baik
api dunia yang membakarya, daripada api neraka yang menyala dan dahsyat
panasnya. Jika engkau tak mau memaafkan anakmu, lebih baik anakmu kami
bakar!" "Jangan!" pekik ibu itu seraya mengucurkan air mata. "Aku memang
benci anakku, tapi tak ingin dia mengalami malapetaka seperti itu. Sudahlah,
aku maafkan anakku," lanjut ibu itu. Begitu kata maaf itu keluar dari mulut
sang ibu, meluncurlah kalimat *laailaahaillallah* dari mulut Al-Qama.
Rasulullah dengan sahabat-sahabatnya serempak melantunkan *innaa lillaahi wa
innaa ilaihi raaji'uun.*

Cerita ini, menggambarkan kepada kita, betapa susahnya meraih *husnul
khaatimah* itu. Tidak sekadar lancar mengucapkannya. Betapapun solehnya
seseorang itu, dia pasti takut menghadapi *sakaratul maut* itu. Mari kita
renungkan masa lalu kita. Gelapkah perjalanan hidup kita? Ataukah justru
sebaliknya? Kita adalah orang paling tahu masa lalu kita sendiri. Berapa
orang yang kita korbankan demi memenuhi kepentingan kita? Berapa orang yang
kita tipu? Berapa orang yang telah kita buat resah? Belum lagi dosa kita
kepada Allah! Ternyata gelapnya masa lalu kita.

Siapa yang tidak takut mati, ketika membayangkan masa lalunya yang sarat
dengan dosa. Kalau Tuhan tidak memaafkannya, apa jadinya kita ini? Mari kita
renungkan siapkah kita menghadapi kematian ini? Apa bekal kita untuk masa
depan kita setelah kematian? Kerana cepat – lambat pasti menjemput kita?

Masalah *husnul khaatimah,* tidak bisa kita ukur dengan ukuran-ukuran
formal. Kadang, tetangga kita yang biasa-biasa saja, mengalami kematian yang
syahdu sembari tersenyum. Sebaliknya, seorang kiai yang perstasi
amalnya-dimata kita-baik sekali, justru menghadapi seksaan yang luar biasa
pada detik-detik ajalnya, bukanlah jaminan bahawa amal tetangga kita yang
biasa-biasa, lebih baik daripada kiai yang soleh itu.

Dalam literatur Islam dikatakan, bisa jadi, orang yang tersenyum saat
menjelang kematiannya, masih ada sisa-sisa kebaikan yang pernah
dilakukannya, tapi setelah itu ia langsung masuk neraka. Sebaliknya, mungkin
masih ada sedikit dosa-dosanya yang diampuni Tuhan, maka, detik-detik
terakhir hidupnya ia diberi kesempatan untuk mencuci dosa-dosa itu, dengan
dibiarkan menderita saat menjemput maut. Sebab, penyakit adalah penghapus
dosa. Rasulullah bersabda, "Orang yang diuji dengan berbagai penyakit,
kemudian orang itu sabar, maka ia akan menghapus dosa-dosa masa lalunya."

Ada beberapa peristiwa yang menurut Rasulullah disebut sebagai pencuci dosa.
Antara lain: seorang perempuan yang melahirkan seorang anak dan meninggal
dalam keadaan masih bayi. *Insyaa Allah* orang itu akan mendapatkan peluang
untuk husnul khaatimah. Atau orang yang melahirkan lalu meninggal. Kita
tidak bisa menentukan orang itu *husnul khaatimah* atau *su'ul khaatimah*. Yang
berhak menilai dan yang tahu persis hanya Allah SWT.

Memang, dalam kitab kuning disebutkan, ciri-ciri orang yang meninggal dalam
keadaan baik, antara lain: mampu mengucapkan kalimah laailaahaillallaah.
Bahkan ada yang ingin meninggal dalam keadaan sujud di depan kebesaran
Tuhan. Kita bisa berdoa untuk meraih *husnul khaatimah.* Kita memohon
dilindungi dari kematian dalam keadaan yang hina dina. Tidak sedikit orang
yang meninggal di tempat pelacuran. Padahal mungkin pada masa lalunya sangat
bagus.

Bagaimana mempersiapkan *husnul khaatimah* itu? Kita tidak bisa mengatur
skenario pada detik-detik kematian kita. Kerana sesungguhnya, *husnul
khatimah* itu diperoleh melalui akumulasi rangkaian panjang amal perbuatan
kita. *

*Wallahu A'lam Bis Shawab.*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar